IsuKini – Faisal Basri, seorang ahli ekonomi yang juga ikut mendirikan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), telah menyatakan bahwa sekitar 15 anggota kabinet Presiden Joko Widodo, Kabinet Indonesia Maju, menunjukkan kesediaan untuk melakukan pengunduran diri. Diantara mereka terdapat nama Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono.
Lebih lanjut Faisal memaparkan dalam sebuah segmen Program Closing Bell di CNBC Indonesia pada Jumat (19/1/2024), “Kurang lebih ada 15 orang,” demikian jelas Faisal Basri.
Rincian yang diberikan Faisal mencakup lima menteri yang berasosiasi dengan PDI Perjuangan, ditambah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Suharso Monoarfa dan dua representatif dari PKB.
Di samping itu, tercatat pula nama Siti Nurbaya Bakar dari partai NasDem yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta beberapa nama penting lainnya termasuk Menteri ESDM Arifin Tasri, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Mahfud MD yang menjabat sebagai Menteri Koordinator di bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Baca Juga : Jokowi Minta KPU untuk Mengubah Format Debat, Cak Imin : Presiden Sebaiknya Tidak Memihak
Faisal menambahkan bahwa peristiwa mundurnya sejumlah menteri dalam susunan kabinet bukan merupakan kejadian yang pertama di Indonesia, mengingat peristiwa serupa pernah terjadi pada era Presiden Soeharto, dimana pengunduran diri beberapa menteri pada akhirnya mengarah pada pengunduran diri Soeharto sendiri.
“Pada akhirnya, Presiden Soeharto juga mengundurkan diri dengan berkata, ‘Saya ini mau bekerja bagaimana lagi?'” kata Faisal merefleksikan masa tersebut.
Beliau menjelaskan bahwa pengunduran diri para menteri dapat dikaitkan dengan arahan politik yang bertentangan dengan Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2024 dan dukungan mereka terhadap kandidat tertentu, selain juga karena intervensi politik dari Presiden Jokowi yang dinilai berlebihan terhadap peran dan fungsi menteri.
Dampaknya, sejumlah menteri yang berlatar belakang sebagai teknokrat dan yang berpegang teguh pada etika serta moral tertentu menemukan diri mereka tidak mampu mentolerir intervensi politik tersebut.
Faisal mengakhiri dengan mengatakan, “Para teknokrat ini memiliki sebuah kodrat etika yang tidak tertulis, sehingga ketika diperintah untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan aturan, mereka akan berkata sorry saya tidak bisa melakukan itu, jika Anda ingin melanjutkan, silakan tetapi tanpa saya.” Menurut Faisal, batas standar etika dan ilmu pengetahuan sudah tersinggung dalam kasus ini.
Baca Juga :Prabowo-Gibran Memainkan Program Kartu-kartu Persis Jurus Jokowi
Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari isukini.com Untuk kerjasama lainya bisa kontak email atau sosial media kami lainnya.